BERITA

PLTS Sebagai Pembuka Jalan dan Andalan Transisi Energi di Indonesia

Berdasarkan data Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang diambil dari kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia memiliki potensi teknis energi surya yang jauh melebihi angka resmi pemerintah (207 GW), yaitu antara 3.000 – 20.000 GWp – dengan analisis kesesuaian lahan. Potensi teknis ini menjadi modal Indonesia untuk melakukan transisi energi dari sistem energi berbasis energi fosil ke sistem energi rendah karbon, dan PLTS mampu menjadi pembuka jalan sekaligus andalan Indonesia untuk melakukannya.

“Kebutuhan energi Indonesia sebagian besar bisa dipenuhi oleh energi surya, dan dengan semakin meluasnya pemanfaatan PLTS, ini akan membuka lapangan kerja hijau untuk masyarakat,” Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI menyampaikan. Setiap 1 GWp PLTS atap mampu menyediakan lapangan kerja untuk 20 – 30 ribu tenaga kerja terampil dan juga menciptakan nilai ekonomi yang signifikan.

Sebagai negara yang juga meratifikasi Perjanjian Paris dan menegaskan kembali komitmen ini di COP26, peralihan ke sistem energi yang mengutamakan energi terbarukan bukan lagi menjadi pilihan. Pemanfaatan PLTS dalam skala besar dan PLTS atap memegang peran besar untuk pencapaian target ini, seperti yang tertuang dalam Grand Strategy Energi Nasional (GSEN) – 38 GW hingga 2035, Program Strategis Nasional (PSN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021- 2030 – 4,7 GW hingga 2030.

Menurut Fabby, dengan komitmen untuk tidak lagi membangun PLTU dan pemensiunan dini PLTU (coal phase out) yang menjadi salah satu keluaran COP26, percepatan pembangunan pembangkit energi terbarukan sangat krusial; dan energi surya akan berkontribusi signifikan. Tantangan besar yang akan muncul adalah menyoal variability listrik surya, sehingga diperlukan teknologi penyimpanan yang mumpuni, andal, harga kompetitif, dan juga bisa didaur-ulang dengan aman.

Dengan sifatnya yang “demokratis”, energi surya juga merupakan bentuk gotong royong warga negara. Dalam bentuk PLTS atap, energi ini praktis dapat digunakan oleh semua orang dengan skala yang berbeda-beda di seluruh Indonesia. Dengan semakin terbukanya akses pada penyedia produk dan jasa PLTS atap, harga sistem yang terus turun, serta peralihan gaya hidup rendah karbon – minat dari berbagai kalangan untuk menggunakan PLTS atap terus tumbuh. Mereka yang memilih menggunakan energi terbarukan dengan biaya mereka sendiri menunjukkan kontribusi nyata dan aktif untuk membantu pencapaian target energi terbarukan Indonesia dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Minat masyarakat yang tinggi harus dijawab dengan dukungan regulasi. Keekonomian dan kemudahan proses perizinan menjadi pertimbangan utama calon pengguna PLTS atap. Skema net-metering yang mengizinkan adanya ekspor-impor listrik harus dirancang dengan tarif yang menarik, minimal adil (1:1) atau bahkan lebih. Periode reset kelebihan transfer listrik juga dapat ditetapkan di minimum 1 tahun. Kombinasi variabel yang mampu meningkatkan keekonomian PLTS atap hendaknya dipertimbangkan untuk bisa menghasilkan perhitungan yang atraktif. Peraturan Menteri ESDM No.26/2021 yang memperbaiki tarif ekspor impor dan periode reset hingga 6 bulan hendaknya segera diimplementasikan.

Adanya insentif (fiskal dan nonfiskal) akan mempercepat adopsi PLTS atap pula, misalnya dengan keringanan pajak. Ini bisa menjadi pertimbangan selanjutnya, setelah adanya regulasi yang baik dan tidak mempersulit masyarakat.