BERITA

Energi Surya adalah ‘Raja Listrik’, Tapi…..

Marlistya Citraningrum, Institute for Essential Services Reform

Energi surya telah dinobatkan sebagai “raja listrik”. Sumber tenaga ini diperkirakan akan mendominasi pasokan energi terbarukan yang dapat melampaui batu bara sebagai sumber energi pembangkitan listrik pada tahun 2025.

Tenaga surya adalah cerminan “demokrasi energi” karena seluruh negara mendapatkan sinar matahari. Selain itu, karakteristiknya yang modular memungkinkan pemanfaatan oleh berbagai pihak dalam berbagai skala. Perkembangan teknologi dan tren harga yang kian menurun juga memperluas aksesnya ke banyak sektor.

Meski mengalami penurunan pertumbuhan karena pandemi COVID-19, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) masih memprediksi peningkatan kapasitas PLTS tersebar (distributed photovoltaics) di segmen industri-komersial (C&I) dan residensial hingga 46 gigawatt (GW) selama 2023 – 2025. Mayoritas PLTS tersebar berbentuk PLTS atap.

Di Indonesia, potensi energi surya — dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya — melimpah ruah. Analisis Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan metode berbasis GIS menunjukkan potensi teknis PLTS lebih besar lagi: mencapai 20.000 gigawatt peak (GWp).

Khusus PLTS atap rumah tangga, potensinya mencapai 655 GWp atau setara 930,7 terrawatt hour (TWh) listrik dalam setahun. Potensi itu mampu menyuplai hampir 4 kali lipat permintaan listrik Indonesia pada 2019 (245 TWh).

Sayang, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara optimal. Hingga akhir 2020, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru mencapai 153,8 MW. Untuk PLTS atap, sampai Juli 2021, tercatat 4.028 pelanggan dengan kapasitas total 35,56 MWp.

PLTS atap diminati masyarakat

Teknisi memasang instalasi lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) Tenaga Surya di jalan raya Soropadan, Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah. Anis Efizudin/Antara

Berdasarkan survei pasar IESR selama Juli – Agustus 2018 di Jabodetabek, ada sekitar 13% potensi pasar atau setara 166.000 – 184.000 rumah tangga yang berminat menggunakan energi surya di rumahnya. Sementara, saat itu baru ada sekitar 500 pengguna PLTS atap di Indonesia.

IESR melakukan survei pasar lanjutan pada 2019 dan 2020 di Surabaya, 7 kota di Jawa Tengah, dan 3 wilayah di Bali guna untuk mengetahui persepsi dan minat masyarakat untuk menggunakan PLTS atap. Di sektor residensial, terdapat potensi pasar 19% untuk Surabaya, 9,6% untuk Jawa Tengah, dan 23,3% untuk Bali.

Kendati begitu, minat yang tinggi belum sebanding dengan komitmen penggunaan PLTS atap. Mayoritas responden masih melihat faktor-faktor keekonomian yang diperoleh seperti besaran penghematan, biaya instalasi, dan waktu pengembalian modal.

Mayoritas responden menginginkan bisa menghemat paling tidak separuh dari tagihan listrik mereka saat ini, dengan periode balik modal di bawah tujuh tahun. Sementara, jika melihat harga sistem PLTS atap (ritel di minimal Rp 15.000.000 per kilowatt peak/kwp), tarif dasar listrik rumah tangga non-subsidi, dan tarif net-metering 1:0,65, maka keinginan itu sulit terpenuhi.

Selain penghematan, penggunaan PLTS atap juga dilandasi motivasi untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Persepsi status sosial yang lebih tinggi karena menggunakan PLTS itu “keren” juga turut disebut oleh responden.

Memperbanyak insentif, memangkas hambatan

Untuk mendongkrak minat masyarakat, pemerintah dapat mengevaluasi dan memperbaiki regulasi serta memberikan insentif penggunaan listrik dari PLTS atap.

Pemerintah dapat memulai dengan pemberlakuan tarif ekspor-impor listrik pelanggan PLTS dan PLN sebesar 100% dari aturan sebelumnya yang hanya 65%. Perubahan ini dapat menurunkan periode balik modal 1-2 tahun menjadi di bawah delapan tahun.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun tengah menggodok perubahan aturan penggunaan PLTS atap. Dalam revisi ini, pemerintah disebut menyetujui usulan pemberlakuan tarif ekspor-impor listrik sebesar 100% dari tarif listrik pelanggan PLN.

Penyediaan skema pembiayaan yang menarik juga perlu didorong. Misalnya, cicilan berbunga rendah dengan tenor 3-5 tahun, insentif keuangan, ataupun perpajakan.

Di tingkat daerah, inisiatif merangsang minat warga sudah dimulai di Bali. Pemerintah Bali menerbitkan Peraturan Gubernur No. 45 tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih yang mengatur pemberian keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi pengguna PLTS atap.

Meski belum diimplementasikan karena pandemi, insentif ini dapat menjadi contoh bagi pemerintah daerah lainnya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan – khususnya PLTS atap – sesuai kewenangan masing-masing.

Dukungan non-regulasi, seperti surat edaran gubernur, juga mampu mendorong instalasi PLTS atap. Salah satunya dilakukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Tantangan lainnya yang perlu diatasi adalah akses informasi, penyedia produk dan layanan, serta prosedur standar yang belum merata. Lebih dari 80% pengguna PLTS atap residensial berlokasi di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Jumlah pengguna yang besar membuat arus informasi dan kemudahan akses ke pemasok hampir terpusat di tiga provinsi tersebut.

Persoalan tersebut penting karena standarisasi prosedur, terutama penggantian suku cadang alat, juga masih sering dikeluhkan pengguna. Di beberapa wilayah, pengguna harus menunggu 3-6 bulan untuk mengganti kWh meter. Padahal proses ini seharusnya hanya memakan waktu sekitar 15 hari kerja.

Belajar dari tren positif pelanggan PLTS sektor industri

Berbeda dengan sektor residensial, kapasitas PLTS atap dari sektor industri melesat jauh. Per 2020, kapasitas terpasang PLTS atap yang dihasilkan dari konsumen industri mencapai 8 megawatt peak (MWp). Tahun 2019, kapasitas terpasangnya hanya di bawah 1 MWp.

pertumbuhan penggunaan PLTS atap per sektor pengguna tahun 2020 (Sumber: PLN, dianalisa IESR)

Tren pemasangan PLTS atap di sektor komersial dan industri (C&I) merupakan respon perusahaan untuk krisis iklim, termasuk dari aliansi korporasi RE100 yang berkomitmen menggunakan 100% listrik dari energi bersih. PLTS atap menjawab kebutuhan ini.

Di Indonesia, terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 16 tahun 2019 berkontribusi pada kenaikan pemanfaatan PLTS atap di sektor industri. Aturan itu memangkas biaya kapasitas dan meniadakan biaya listrik darurat bagi pelanggan industri.

Aturan itu juga merevisi aturan sebelumnya yang dikeluhkan karena menetapkan jumlah biaya tambahan lebih besar dari penghematan biaya listrik dari pemakaian PLTS atap pelanggan industri.

Selain faktor kebijakan, peningkatan ini juga dipicu oleh munculnya skema pembiayaan PLTS tanpa modal (zero capex). Dalam skema ini, pengguna PLTS melakukan pembayaran bulanan dari penghematan listrik mereka selama periode kontrak (umumnya 15 tahun) sehingga belanja modal dapat dihemat.

PLTS atap akan terus tumbuh dan perlu disambut

Warga memperbaiki instalasi panel listrik tenaga surya di Desa Purwodadi, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Aditya Pradana Putra/Antara

Selain kebijakan yang merangsang pemanfaatan energi surya, pemerintah juga harus menggencarkan sosialisasi dan penyebaran informasi penyediaan produk PLTS. Harapannya, akses masyarakat terhadap energi bersih itu kian merata, tak hanya di kota-kota besar.

Selain pemerintah, lembaga keuangan juga dapat berperan menyediakan dana dan menginisiasi skema pembiayaan baru untuk mengatasi kendala pengadaan PLTS.

Jika iklim kebijakan dan pembiayaan kondusif, maka tren penggunaan PLTS atap dapat bertumbuh pesat. Partisipasi masyarakat untuk memenuhi target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca pun semakin meningkat.

Marlistya Citraningrum, Senior Analyst, Institute for Essential Services Reform dan Wakil Ketua Umum, Asosiasi Energi Surya Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Translate »